Seorang kerabatku malam itu tergopoh-gopoh
datang ke rumah mencari istriku.
“Mas,,,, mbak Wahyu ada?” tanya mbak Nem.
“Ada, lagi di belakang sama anak-anak. Ada
apa, mbak?” tanyaku balik.
“Anu, mas... Di rumah pak RT lagi ada
pembagian gula gratis setengah kilo,” jawabnya.
“Ooh.. Sebentar, silakan duduk dulu, mbak.”
Kupersilakan mbak Nem duduk di kursi ruang
keluarga dan bergegas ku pergi memanggilkan istri di belakang. Tak sampai
menunggu lama, aku dan istriku datang kembali menemui mbak Nem. Sementara
istriku mengobrol dengan mbak Nem, aku melanjutkan menonton televisi.
“Mbak,, punya foto kopi KTP nggak? Kalau mbak
Wahyu punya, sekarang juga bisa ditukar di rumah pak RT dengan gula setengah
kilo. Gratis, mbak!” cecar mbak Nem kepada istriku.
“Emang lagi ada acara apa? Kok malam-malam
begini ada pembagian gula?”
“Itu lho,,, tadi pak RT kedatangan tamu.
Katanya panitia dari calon wakil bupati yang baru. Mereka butuh foto kopi KTP,
dua puluh lima foto kopi per RT. Nanti siapa-siapa yang ngasihkan foto kopi KTP
dapat ganti gula setengah kilo,” jelas mbak Nem.
Aku yang sedari tadi nguping obrolan mereka
jadi ikut-ikutan bicara.
“Tamunya pak RT bilang apa aja, mbak?”
tanyaku.
“Katanya mereka butuh foto kopi KTP sebanyak
lima ratus lembar, untuk syarat jadi wakil bupati, gitu mas,” jelas mbak Nem.
“Terus, mbak sudah ngasih foto kopi KTP-nya
mbak? Dapat gulanya?” tanyaku.
“Belum, mas. Paling kalau saya ke sana lagi
juga sudah habis, lha wong tadi ibu-ibu langsung ngacir, buru-buru pergi ke
tokonya mbak Tri buat foto kopi,” kata mbak Nem.
“Hahahaaaaa,,, mbak Nem ini ada-ada saja. Lha
wong sudah habis kok woro-woro* ke sini,” kata isteriku.
“Mbak Wahyu ini kayak nggak tahu aja. Saya
khan tukang nyebar berita di RT sini. Sesuatu banget, khan? Hahahaaaa....” kata
mbak Nem sambil bergaya ala Syahrini.
########
Cuplikan obrolan nyata di atas, benar-benar
terjadi. Dan itu menggelitik saya untuk tidak sabar menuliskan hal-hal yang
seharusnya kita ketahui bersama.
Peraturan perundang-undangan negara kita telah
memberikan kebebasan ruang kepada setiap orang untuk berperan dalam demokrasi,
termasuk dalam hal pemilihan kepala daerah, baik itu setingkat walikota /
bupati maupun gubernur. Mungkin ada beberapa di antara kita yang belum paham
betul tentang mekanisme pencalonan kepala daerah ini.
Calan kepala daerah bisa menggunakan 2 jalur
untuk menjadi peserta pemilu kepala daerah. Pertama, melalui jalur partai
politik yang ada dan kedua, melalui jalur perorangan atau istilah kerennya
sekarang jalur independen.
Pasangan calon kepala daerah yang menggunakan
jalur partai politik harus mendapatkan dukungan dari partai politik di daerah
sebanyak 15 % kursi dari total jumlah kursi DPRD setempat. Sederhananya begini,
misal di kabupaten A mempunyai 50 orang/kursi anggota DPRD dari berbagai fraksi
partai politik. Partai “Ayem Tentrem” mempunyai 10 orang/kursi anggota DPRD, jadi
jumlah kursi partai “Ayem Tentrem” di DPRD adalah 20%. Nah,,, jadi partai “Ayem
Tentrem” ini bisa mengusulkan pasangan calon kepala daerahnya.
Bisa juga melalui gabungan partai politik yang
ada di DPRD setempat. Partai politik yang jumlah kursinya kurang dari 15%,
dapat bergabung dengan partai politik lainnya dan dapat mengusulkan pasangan
calon kepala daerahnya sendiri. Misal, partai “Murah Pangan” hanya punya 6%
kursi, partai “Wong Cilik” hanya punya7% kursi dan partai “Tempe Tahu” hanya
punya 4% kursi. Mereka bisa bergabung menjadi gabungan partai politik dan
menjumlahkan kekuatan kursi mereka di DPRD menjadi 17% kursi. Dengan 17% kursi
dari kursi anggota DPRD setempat, gabungan partai politik inipun bisa
mengusulkan pasangan calon kepala daerah.
Itu dari jalur partai politik dan gabungan
partai politik.
Sementara ini, diperbolehkan juga melalui
jalur perorangan / independen, artinya adalah pasangan calon kepala daerah
tersebut tidak melalui jalur partai politik. Persyaratannya adalah mendapatkan
dukungan langsung dari masyarakat dalam bentuk tanda tangan dan foto kopi KTP
atau dokumen kependudukan lainnya yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Jumlah dukungan ini harus mencukupi prosentase dari jumlah
penduduk setempat.
Misal di kabupaten Madiun ini berpenduduk
810.000 jiwa. Sesuai peraturan perundang-undangan, prosentasenya adalah 4%.
Sehingga jumlah minimal dukungan yang harus dikantongi pasangan calon
independen adalah 32.400 dukungan. Tapi, jumlah dukungan itu harus tersebar di
lebih dari 50% wilayah kecamatan yang ada.
Lantas apa hubungannya dengan kisah di atas
tadi???
Oke, sekarang mari kita simak yang
beeeerrrrrikut ini.... (niru Jeremy Teti, heheheee)
Ada beberapa pembodohan publik yang dilakukan
oleh tamu pak RT tadi.
Calon bupati dan calon wakil bupati adalah satu kesatuan. Tidak ada istilahnya beda persyaratan untuk calon bupati ataupun wakil calonnya. Misal, untuk calon bupati butuh 1.000 lembar, sementara untuk calon wakilnya hanya butuh 500 lembar. Itu tidak benar.
Karena merupakan satu
kesatuan, mereka harus memenuhi persyaratan yang sama, yang telah diatur oleh
peraturan perundang-undangan yang ada. Di atas sudah saya jelaskan, tapi tidak
ada salahnya kita ulang kembali.Syaratnya adalah mendapatkan dukungan sebanyak 4%
dari jumlah penduduk dan sebarannya harus lebih dari 50% wilayah kecamatan.
Kabupaten Madiun berpenduduk
kurang lebih 810.000 jiwa, wilayahnya terbagi ke dalam 15 kecamatan yang terdiri
dari 206 desa / kelurahan. Sehingga jumlah dukungan yang harus dikumpulkan
adalah 32.400 lembar foto kopi (4% X 810.000 jiwa penduduk) dan minimal berasal
dari 8 kecamatan yang ada (50% X 15 kecamatan).
2. Iming-iming gula gratis
setengah kilogram
Tamu pak RT tersebut adalah
representasi atau perwakilan dari si calon wakil bupati. Tamu tersebut memang
tidak berpolitik uang alias memberikan / membagi-bagikan uang, namun hal ini
masih sangat terlihat jelas bahwa cara yang digunakannya masih sama, saya sebut
saja berpolitik gula. Mari kita berhitung. Anggap saja gaji dan pemasukan resmi
lainnya dari seorang bupati atau wakilnya adalah 10 juta rupiah per bulan. Jika
menjabat penuh selama 5 tahun, maka penghasilannya adalah 10 juta rupiah kali
12 bulan kali 5 tahun sama dengan 600 juta rupiah.
Sementara dengan berpolitik
gula tadi, jika asumsinya rata-rata per desa diambil hanya 10 RT dan setiap
RT-nya diambil 25 dukungan , maka gula yang dibagikan adalah ½ kilogram gula x
25 dukungan x 10 RT x 206 desa / kelurahan sama dengan 25.750 kilogram gula!!!
Hampir 26 ton gula!!! Sementara
jika harga gula sekarang adalah 10 ribu rupiah per kilo, maka jumlah uangnya
adalah 10 ribu rupiah x 25.750 kilogram sama dengan 257.500.000 rupiah!!!
Coba kita bandingkan dengan
penghasilan seorang bupati yang hanya kurang lebih 600 juta selama 5 tahun
tadi. Artinya, hampir setengah penghasilannya "telah habis" untuk dibelanjakan
gula demi sekian puluh ribu lembar foto kopi KTP!!!
Itu baru untuk foto kopi KTP.
Bagaimana nanti ketika si calon kepala daerah harus memberikan kaos gratisan,
stiker, kalender dan macam-macam barang demi terpilihnya si calon? Berapa
banyak uang yang dihambur-hamburkan demi sebuah legitimasi?
Ibarat seperti pedagang yang
harus belanja barang dagangan dan menjualnya kembali. Jika modalnya 1 miliar
rupiah, maka dia harus mendapatkan kembali modal pokoknya berikut dengan
labanya. Karena hukum ekonomi selalu mengatakan ambillah keuntungan
sebanyak-banyaknya dengan modal yang serendah-rendahnya. Bagaimana seorang
kepala daerah dapat bekerja mengayomi dan melayani masyarakat sementara yang
terjadi adalah dia harus berpikir untuk mengembalikan modal pokoknya (syukur
dengan laba sebanyak-banyaknya).
Saya ingin menyebut ini
sebagai gumpalan benang kusut yang tercebur dalam aspal dan gumpalan ini
mengering! Bisa Anda bayangkan bagaimana ketika harus menguraikannya???
Hmmmm..... Bukankah kita
sendiri yang selama ini menuntut agar pemerintah memberantas korupsi? Bukankah
kita sendiri yang mengharapkan berjalannya pemerintahan daerah yang bisa
sepenuhnya mengayomi dan melayani masyarakat? Mari kita renungkan hal ini.
Tapi mengapa kita sendiri
yang membukakan jalan dan memberikan toleransi seluas-luasnya terhadap korupsi?
Mengapa kita gampang terbujuk dengan rayuan-rayuan semu di setiap pesta
demokrasi di negeri ini (pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif,
bahkan pemilihan presiden!). Mengapa kita begitu mudah menggadaikan masa depan
kita, harga diri dan martabat kita dengan iming-iming materi yang mungkin habis
sesaat? Semurah itukah diri kita???
Jangan sekedar membayangkan
dan memimpikan jalan desa yang beraspal halus dan nyaman, sekolah yang
berkualitas baik untuk anak-anak kita, sandang pangan yang murah, berkecukupan
penghasilan dan kehidupan yang lebih baik. JANGAN HANYA BERMIMPI! TAPI
LAKUKANLAH! KERJAKANLAH!
TOLAK DAN HINDARKAN DIRI DARI
POLITIK UANG, POLITIK GULA, POLITIK IMING-IMING DAN POLITIK KOTOR LAINNYA.
MARI KITA JUJUR DAN BENAHI
DIRI.