Halaman

Senin, 30 Juli 2012

GULA SETENGAH KILOGRAM VS MASA DEPAN


Seorang kerabatku malam itu tergopoh-gopoh datang ke rumah mencari istriku.

“Mas,,,, mbak Wahyu ada?” tanya mbak Nem.

“Ada, lagi di belakang sama anak-anak. Ada apa, mbak?” tanyaku balik.

“Anu, mas... Di rumah pak RT lagi ada pembagian gula gratis setengah kilo,” jawabnya.

“Ooh.. Sebentar, silakan duduk dulu, mbak.”

Kupersilakan mbak Nem duduk di kursi ruang keluarga dan bergegas ku pergi memanggilkan istri di belakang. Tak sampai menunggu lama, aku dan istriku datang kembali menemui mbak Nem. Sementara istriku mengobrol dengan mbak Nem, aku melanjutkan menonton televisi.

“Mbak,, punya foto kopi KTP nggak? Kalau mbak Wahyu punya, sekarang juga bisa ditukar di rumah pak RT dengan gula setengah kilo. Gratis, mbak!” cecar mbak Nem kepada istriku.

“Emang lagi ada acara apa? Kok malam-malam begini ada pembagian gula?”

“Itu lho,,, tadi pak RT kedatangan tamu. Katanya panitia dari calon wakil bupati yang baru. Mereka butuh foto kopi KTP, dua puluh lima foto kopi per RT. Nanti siapa-siapa yang ngasihkan foto kopi KTP dapat ganti gula setengah kilo,” jelas mbak Nem.

Aku yang sedari tadi nguping obrolan mereka jadi ikut-ikutan bicara.

“Tamunya pak RT bilang apa aja, mbak?” tanyaku.

“Katanya mereka butuh foto kopi KTP sebanyak lima ratus lembar, untuk syarat jadi wakil bupati, gitu mas,” jelas mbak Nem.

“Terus, mbak sudah ngasih foto kopi KTP-nya mbak? Dapat gulanya?” tanyaku.

“Belum, mas. Paling kalau saya ke sana lagi juga sudah habis, lha wong tadi ibu-ibu langsung ngacir, buru-buru pergi ke tokonya mbak Tri buat foto kopi,” kata mbak Nem.

“Hahahaaaaa,,, mbak Nem ini ada-ada saja. Lha wong sudah habis kok woro-woro* ke sini,” kata isteriku.

“Mbak Wahyu ini kayak nggak tahu aja. Saya khan tukang nyebar berita di RT sini. Sesuatu banget, khan? Hahahaaaa....” kata mbak Nem sambil bergaya ala Syahrini.


 ########

Cuplikan obrolan nyata di atas, benar-benar terjadi. Dan itu menggelitik saya untuk tidak sabar menuliskan hal-hal yang seharusnya kita ketahui bersama.

Peraturan perundang-undangan negara kita telah memberikan kebebasan ruang kepada setiap orang untuk berperan dalam demokrasi, termasuk dalam hal pemilihan kepala daerah, baik itu setingkat walikota / bupati maupun gubernur. Mungkin ada beberapa di antara kita yang belum paham betul tentang mekanisme pencalonan kepala daerah ini.

Calan kepala daerah bisa menggunakan 2 jalur untuk menjadi peserta pemilu kepala daerah. Pertama, melalui jalur partai politik yang ada dan kedua, melalui jalur perorangan atau istilah kerennya sekarang jalur independen.

Pasangan calon kepala daerah yang menggunakan jalur partai politik harus mendapatkan dukungan dari partai politik di daerah sebanyak 15 % kursi dari total jumlah kursi DPRD setempat. Sederhananya begini, misal di kabupaten A mempunyai 50 orang/kursi anggota DPRD dari berbagai fraksi partai politik. Partai “Ayem Tentrem” mempunyai 10 orang/kursi anggota DPRD, jadi jumlah kursi partai “Ayem Tentrem” di DPRD adalah 20%. Nah,,, jadi partai “Ayem Tentrem” ini bisa mengusulkan pasangan calon kepala daerahnya.

Bisa juga melalui gabungan partai politik yang ada di DPRD setempat. Partai politik yang jumlah kursinya kurang dari 15%, dapat bergabung dengan partai politik lainnya dan dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerahnya sendiri. Misal, partai “Murah Pangan” hanya punya 6% kursi, partai “Wong Cilik” hanya punya7% kursi dan partai “Tempe Tahu” hanya punya 4% kursi. Mereka bisa bergabung menjadi gabungan partai politik dan menjumlahkan kekuatan kursi mereka di DPRD menjadi 17% kursi. Dengan 17% kursi dari kursi anggota DPRD setempat, gabungan partai politik inipun bisa mengusulkan pasangan calon kepala daerah.

Itu dari jalur partai politik dan gabungan partai politik.

Sementara ini, diperbolehkan juga melalui jalur perorangan / independen, artinya adalah pasangan calon kepala daerah tersebut tidak melalui jalur partai politik. Persyaratannya adalah mendapatkan dukungan langsung dari masyarakat dalam bentuk tanda tangan dan foto kopi KTP atau dokumen kependudukan lainnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jumlah dukungan ini harus mencukupi prosentase dari jumlah penduduk setempat.

Misal di kabupaten Madiun ini berpenduduk 810.000 jiwa. Sesuai peraturan perundang-undangan, prosentasenya adalah 4%. Sehingga jumlah minimal dukungan yang harus dikantongi pasangan calon independen adalah 32.400 dukungan. Tapi, jumlah dukungan itu harus tersebar di lebih dari 50% wilayah kecamatan yang ada.         

Lantas apa hubungannya dengan kisah di atas tadi???

Oke, sekarang mari kita simak yang beeeerrrrrikut ini.... (niru Jeremy Teti, heheheee)

Ada beberapa pembodohan publik yang dilakukan oleh tamu pak RT tadi.

1. Disebutkan bahwa mereka membutuhkan 500 lembar foto kopi KTP untuk menjadi wakil bupati dari jalur independen.
 
Calon bupati dan calon wakil bupati adalah satu kesatuan. Tidak ada istilahnya beda persyaratan untuk calon bupati ataupun wakil calonnya. Misal, untuk calon bupati butuh 1.000 lembar, sementara untuk calon wakilnya hanya butuh 500 lembar. Itu tidak benar.

Karena merupakan satu kesatuan, mereka harus memenuhi persyaratan yang sama, yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan yang ada. Di atas sudah saya jelaskan, tapi tidak ada salahnya kita ulang kembali.Syaratnya adalah mendapatkan dukungan sebanyak 4% dari jumlah penduduk dan sebarannya harus lebih dari 50% wilayah kecamatan.

Kabupaten Madiun berpenduduk kurang lebih 810.000 jiwa, wilayahnya terbagi ke dalam 15 kecamatan yang terdiri dari 206 desa / kelurahan. Sehingga jumlah dukungan yang harus dikumpulkan adalah 32.400 lembar foto kopi (4% X 810.000 jiwa penduduk) dan minimal berasal dari 8 kecamatan yang ada (50% X 15 kecamatan).

2. Iming-iming gula gratis setengah kilogram

Tamu pak RT tersebut adalah representasi atau perwakilan dari si calon wakil bupati. Tamu tersebut memang tidak berpolitik uang alias memberikan / membagi-bagikan uang, namun hal ini masih sangat terlihat jelas bahwa cara yang digunakannya masih sama, saya sebut saja berpolitik gula. Mari kita berhitung. Anggap saja gaji dan pemasukan resmi lainnya dari seorang bupati atau wakilnya adalah 10 juta rupiah per bulan. Jika menjabat penuh selama 5 tahun, maka penghasilannya adalah 10 juta rupiah kali 12 bulan kali 5 tahun sama dengan 600 juta rupiah.

Sementara dengan berpolitik gula tadi, jika asumsinya rata-rata per desa diambil hanya 10 RT dan setiap RT-nya diambil 25 dukungan , maka gula yang dibagikan adalah ½ kilogram gula x 25 dukungan x 10 RT x 206 desa / kelurahan sama dengan 25.750 kilogram gula!!!
Hampir 26 ton gula!!! Sementara jika harga gula sekarang adalah 10 ribu rupiah per kilo, maka jumlah uangnya adalah 10 ribu rupiah x 25.750 kilogram sama dengan 257.500.000 rupiah!!!

Coba kita bandingkan dengan penghasilan seorang bupati yang hanya kurang lebih 600 juta selama 5 tahun tadi. Artinya, hampir setengah penghasilannya "telah habis" untuk dibelanjakan gula demi sekian puluh ribu lembar foto kopi KTP!!!

Itu baru untuk foto kopi KTP. Bagaimana nanti ketika si calon kepala daerah harus memberikan kaos gratisan, stiker, kalender dan macam-macam barang demi terpilihnya si calon? Berapa banyak uang yang dihambur-hamburkan demi sebuah legitimasi?

Ibarat seperti pedagang yang harus belanja barang dagangan dan menjualnya kembali. Jika modalnya 1 miliar rupiah, maka dia harus mendapatkan kembali modal pokoknya berikut dengan labanya. Karena hukum ekonomi selalu mengatakan ambillah keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal yang serendah-rendahnya. Bagaimana seorang kepala daerah dapat bekerja mengayomi dan melayani masyarakat sementara yang terjadi adalah dia harus berpikir untuk mengembalikan modal pokoknya (syukur dengan laba sebanyak-banyaknya).  

Saya ingin menyebut ini sebagai gumpalan benang kusut yang tercebur dalam aspal dan gumpalan ini mengering! Bisa Anda bayangkan bagaimana ketika harus menguraikannya???

Hmmmm..... Bukankah kita sendiri yang selama ini menuntut agar pemerintah memberantas korupsi? Bukankah kita sendiri yang mengharapkan berjalannya pemerintahan daerah yang bisa sepenuhnya mengayomi dan melayani masyarakat? Mari kita renungkan hal ini.

Tapi mengapa kita sendiri yang membukakan jalan dan memberikan toleransi seluas-luasnya terhadap korupsi? Mengapa kita gampang terbujuk dengan rayuan-rayuan semu di setiap pesta demokrasi di negeri ini (pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif, bahkan pemilihan presiden!). Mengapa kita begitu mudah menggadaikan masa depan kita, harga diri dan martabat kita dengan iming-iming materi yang mungkin habis sesaat? Semurah itukah diri kita???

Jangan sekedar membayangkan dan memimpikan jalan desa yang beraspal halus dan nyaman, sekolah yang berkualitas baik untuk anak-anak kita, sandang pangan yang murah, berkecukupan penghasilan dan kehidupan yang lebih baik. JANGAN HANYA BERMIMPI! TAPI LAKUKANLAH! KERJAKANLAH!

TOLAK DAN HINDARKAN DIRI DARI POLITIK UANG, POLITIK GULA, POLITIK IMING-IMING DAN POLITIK KOTOR LAINNYA.

MARI KITA JUJUR DAN BENAHI DIRI.

1 komentar:

  1. Artikel ini sangat bagus sekali, dan saya katakan anda 1000% benar...
    Sayangnya, masyarakat kita sangat mudah tergadaikan masa depannya dgn kesenangan sesaat, oleh karena itu, kiranya sangat penting pencerahan macam begini diberikan kepada setiap orang, setiap pribadi yang merasa terpanggil akan tanggungjawabnya sbg warga negara, tentunya sosialisasi hal ini bisa kita berikan secara perorangan sambil ngobrol diwarung dgn secangkir kopi dan sepotong singkong rebus..
    hhhmmm... masa depan tentu akan lebih bersinar.

    BalasHapus