Halaman

Sabtu, 28 Juli 2012

REMAJA PUTUS SEKOLAH DAN BATU BATA

Sore itu, sebenarnya aku berniat sekedar menghabiskan waktu menunggu waktu berbuka puasa dengan bersepeda motor melalui tanggul sungai Madiun. Namun akhirnya tanpa sengaja aku menemukan sebuah wilayah yang berbatasan dengan desaku, yang selama ini luput dari perhatianku. Wilayah itu dikenal dengan sebutan Singolobo. Sewaktu aku masih kecil, setiap aku mendengar nama Singolobo, maka yang langsung terbersit di otakku adalah sebuah tempat yang menyeramkam, banyak rimbunan bambu, ada makam angker dan segala hal yang menakutkanku sebagai anak kecil.
 
Namun Singolobo kini ternyata sudah jauh berubah dan sama sekali tidak seseram namanya ketika kecilku dulu. Singolobo sekarang menjadi sentra industri rumah tangga berupa batu bata. Hampir setiap saat pick-up maupun truk keluar masuk ke wilayah itu mengangkut batu bata ke semua penjuru Madiun, bahkan keluar Madiun.


Di saat aku berkeliling di Singolobo, terlihat seorang remaja laki-laki sedang asyik mengaduk tanah liat sebagai bahan baku utama batu bata. Segera kuarahkan sepeda motorku ke gubuk di mana remaja itu sedang bekerja. Kumatikan mesin motorku dan segera turun, seketika seorang ibu berumur setengah baya menyambutku dan menanyakan apakah aku sedang menginginkan batu bata. Kujawab tidak dan kusampaikan bahwa aku hanya sekedar ingin melihat proses pembuatan batu bata. Kulangkahkan kaki ke samping gubuk dan mengamati dengan seksama aktivitas yang dilakukan remaja itu.

Kaos hitam kumal dan celana kolor selutut. Keringat membasahi sekujur wajahnya, nampak bahwa dia sudah bekerja berat seharian ini. Gerakan tangannya lincah mengaduk tanah liat, kemudian dimasukkanya ke dalam ember, lalu membawa ember itu ke tempat pencetakan batu bata. Dia meletakkan cetakan batu bata di atas tanah yang permukaannya sudah ditaburi abu sisa pembakran sekam padi. Lalu dengan gerakan yang sangat lihai, dia pindahkan adonan lumpur ke dalam cetakan batu bata. Dia tekan-tekan sedemikian rupa adonan itu sehingga padat mengisi rongga cetakan, di atas permukaan cetakan dia ratakan adonan. 





Kemudian dia siramkan sedikit air, dia ratakan kembali permukaannya sehingga benar-benar rata dan licin. Dan sebagai sentuhan terakhir, dia buatkan semacam “finger mark” atau semacam tanda di permukaan adonan batu bata dengan 3 jarinya, sehingga ketika adonan itu kering akan meninggalkan tanda bahwa dialah pembuat batu bata itu. Dengan sekali sentakan, cetakan batu bata itu diangkatnya dan..... Whoillaaaa... Jadilah batu bata yang masih basah dengan bentuk yang benar-benar presisi!!!


Selanjutnya dia bersihkan cetakan batu bata itu dengan air, lalu di letakkan kembali sejajar dengan hasil cetakan sebelumnya. Kemudian dia lakukan kembali proses seperti di atas tadi. Begitu seterusnya sampai adonan bahan batu bata habis dari embernya. Begitu seterusnya dari hari ke hari. Begitu seterusnya dari sejak dia lulus bangku sekolah dasar hingga entah sampai kapan.


Remaja itu bernama lengkap Deni Agus Wahyudi, usianya kini 14 tahun. Seharusnya dia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, namun karena keadaan ekonomi keluarganya Deni terpaksa tidak bisa bersekolah dan hanya menjadi seorang pencetak batu bata. Deni adalah anak dari pasangan suami istri Jono dan Sri Wahyuni. Bapaknya hanya seorang pekerja serabutan, sementara ibunya telah 1 tahun ini bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita / TKW sektor informal di negara tetangga, Malaysia. Himpitan ekonomi keluarganya memaksa Deni bekerja, padahal teman-teman seusianya sedang belajar dan bermain.

“Mas Deni nggak ingin sekolah?” tanyaku padanya.
“Malu, mas. Saya anaknya orang nggak punya,” jawab Deni dengan muka tertunduk dan malu-malu.
“Trus mau sampai kapan nyetak bata?”
“Nggak tau. Pokoknya saya harus kerja bantu orang tua ngumpulin duit,” jawad Deni diplomatis.
“Trus kalau duitnya sudah banyak buat apa?” cecarku lagi.
“Ya buat beli baju bagus, buat beli hape, buat beli motor, pokoknya buat beli apa aja, biar sama kayak teman-teman yang lain,” jawabnya.

Aku tercenung mendengar jawabannya. Betapa nilai-nilai materialistis sudah meracuni anak seusia Deni. Pendidikan sekolah dia tinggalkan karena kesulitan beaya, namun di sisi yang lain dia bekerja sekeras mungkin untuk memenuhi impiannya dengan hal-hal yang bersifat kebendaan. Lalu, di manakah letak akar masalah ini. Aku jadi bingung sendiri.


Sekolah yang sekarang katanya gratis tetapi masih saja memungut beaya tambahan lain-lain dengan berbagai macam dalih. Akibatnya, orang tua yang tidak mempunyai beaya untuk sekolah anak-anaknya akan bekerja keras memenuhinya. Tapi di jaman sekarang, sangat susah untuk mencari pekerjaan. Iya kalau bisa bekerja, bagaimana kalau tidak? Dari mana sumber penghasilan untuk beaya sekolah anak? Untuk kasus Deni ini, demi mencukupi kebutuhan hidup, ibunya bahkan bekerja sampai ke Malaysia, sementara bapaknya juga bekerja serabutan. Lantas, siapakah yang mengasuh Deni? Yang bisa mengawasinya, membimbingnya, dll?
Kalaupun Deni bisa bersekolah, apakah pendidikan Deni cukup dari sekolah saja? Bagaimana dengan peran orang tua yang juga harus mendidik, merawat dan mengasuhnya? Sementara mereka sendiri harus bekerja mati-matian demi bertahan hidup?

Karena waktu semakin sore, kuputuskan untuk meninggalkan Deni dengan sejuta impiannya. Dan sepanjang perjalananku pulang, pikiranku terus berkecamuk, betapa susahnya jadi manusia (seperti bahasa iklan rokok di televisi, hehehee....).

###########

Terima kasih kepada pembaca blog ini.
Saya masih belajar untuk menulis. Sumbang saran dan kritik dari pembaca sangat saya harapkan demi perbaikan tulisan di masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar