Sore itu, sebenarnya aku berniat sekedar
menghabiskan waktu menunggu waktu berbuka puasa dengan bersepeda motor melalui
tanggul sungai Madiun. Namun akhirnya tanpa sengaja aku menemukan sebuah
wilayah yang berbatasan dengan desaku, yang selama ini luput dari perhatianku.
Wilayah itu dikenal dengan sebutan Singolobo. Sewaktu aku masih kecil, setiap
aku mendengar nama Singolobo, maka yang langsung terbersit di otakku adalah
sebuah tempat yang menyeramkam, banyak rimbunan bambu, ada makam angker dan
segala hal yang menakutkanku sebagai anak kecil.
Namun Singolobo kini ternyata sudah jauh
berubah dan sama sekali tidak seseram namanya ketika kecilku dulu. Singolobo
sekarang menjadi sentra industri rumah tangga berupa batu bata. Hampir setiap
saat pick-up maupun truk keluar masuk ke wilayah itu mengangkut batu bata ke
semua penjuru Madiun, bahkan keluar Madiun.
Di saat aku berkeliling di Singolobo, terlihat
seorang remaja laki-laki sedang asyik mengaduk tanah liat sebagai bahan baku
utama batu bata. Segera kuarahkan sepeda motorku ke gubuk di mana remaja itu
sedang bekerja. Kumatikan mesin motorku dan segera turun, seketika seorang ibu
berumur setengah baya menyambutku dan menanyakan apakah aku sedang menginginkan
batu bata. Kujawab tidak dan kusampaikan bahwa aku hanya sekedar ingin melihat
proses pembuatan batu bata. Kulangkahkan kaki ke samping gubuk dan mengamati
dengan seksama aktivitas yang dilakukan remaja itu.
Kaos hitam kumal dan celana kolor selutut.
Keringat membasahi sekujur wajahnya, nampak bahwa dia sudah bekerja berat
seharian ini. Gerakan tangannya lincah mengaduk tanah liat, kemudian
dimasukkanya ke dalam ember, lalu membawa ember itu ke tempat pencetakan batu
bata. Dia meletakkan cetakan batu bata di atas tanah yang permukaannya sudah
ditaburi abu sisa pembakran sekam padi. Lalu dengan gerakan yang sangat lihai,
dia pindahkan adonan lumpur ke dalam cetakan batu bata. Dia tekan-tekan
sedemikian rupa adonan itu sehingga padat mengisi rongga cetakan, di atas
permukaan cetakan dia ratakan adonan.
Kemudian dia siramkan sedikit air, dia
ratakan kembali permukaannya sehingga benar-benar rata dan licin. Dan sebagai
sentuhan terakhir, dia buatkan semacam “finger mark” atau semacam tanda di
permukaan adonan batu bata dengan 3 jarinya, sehingga ketika adonan itu kering
akan meninggalkan tanda bahwa dialah pembuat batu bata itu. Dengan sekali
sentakan, cetakan batu bata itu diangkatnya dan..... Whoillaaaa... Jadilah batu
bata yang masih basah dengan bentuk yang benar-benar presisi!!!
Selanjutnya dia bersihkan cetakan batu bata
itu dengan air, lalu di letakkan kembali sejajar dengan hasil cetakan
sebelumnya. Kemudian dia lakukan kembali proses seperti di atas tadi. Begitu
seterusnya sampai adonan bahan batu bata habis dari embernya. Begitu seterusnya
dari hari ke hari. Begitu seterusnya dari sejak dia lulus bangku sekolah dasar
hingga entah sampai kapan.
Remaja itu bernama lengkap Deni Agus Wahyudi,
usianya kini 14 tahun. Seharusnya dia masih duduk di bangku sekolah menengah
pertama, namun karena keadaan ekonomi keluarganya Deni terpaksa tidak bisa
bersekolah dan hanya menjadi seorang pencetak batu bata. Deni adalah anak dari
pasangan suami istri Jono dan Sri Wahyuni. Bapaknya hanya seorang pekerja
serabutan, sementara ibunya telah 1 tahun ini bekerja sebagai Tenaga Kerja
Wanita / TKW sektor informal di negara tetangga, Malaysia. Himpitan ekonomi
keluarganya memaksa Deni bekerja, padahal teman-teman seusianya sedang belajar
dan bermain.
“Mas Deni nggak ingin sekolah?” tanyaku
padanya.
“Malu, mas. Saya anaknya orang nggak punya,”
jawab Deni dengan muka tertunduk dan malu-malu.
“Trus mau sampai kapan nyetak bata?”
“Nggak tau. Pokoknya saya harus kerja bantu
orang tua ngumpulin duit,” jawad Deni diplomatis.
“Trus kalau duitnya sudah banyak buat apa?”
cecarku lagi.
“Ya buat beli baju bagus, buat beli hape, buat
beli motor, pokoknya buat beli apa aja, biar sama kayak teman-teman yang lain,”
jawabnya.
Aku tercenung mendengar jawabannya. Betapa
nilai-nilai materialistis sudah meracuni anak seusia Deni. Pendidikan sekolah
dia tinggalkan karena kesulitan beaya, namun di sisi yang lain dia bekerja
sekeras mungkin untuk memenuhi impiannya dengan hal-hal yang bersifat
kebendaan. Lalu, di manakah letak akar masalah ini. Aku jadi bingung sendiri.
Sekolah yang sekarang katanya gratis tetapi
masih saja memungut beaya tambahan lain-lain dengan berbagai macam dalih.
Akibatnya, orang tua yang tidak mempunyai beaya untuk sekolah anak-anaknya akan
bekerja keras memenuhinya. Tapi di jaman sekarang, sangat susah untuk mencari
pekerjaan. Iya kalau bisa bekerja, bagaimana kalau tidak? Dari mana sumber
penghasilan untuk beaya sekolah anak? Untuk kasus Deni ini, demi mencukupi
kebutuhan hidup, ibunya bahkan bekerja sampai ke Malaysia, sementara bapaknya
juga bekerja serabutan. Lantas, siapakah yang mengasuh Deni? Yang bisa
mengawasinya, membimbingnya, dll?
Kalaupun Deni bisa bersekolah, apakah
pendidikan Deni cukup dari sekolah saja? Bagaimana dengan peran orang tua yang
juga harus mendidik, merawat dan mengasuhnya? Sementara mereka sendiri harus
bekerja mati-matian demi bertahan hidup?
Karena waktu semakin sore, kuputuskan untuk
meninggalkan Deni dengan sejuta impiannya. Dan sepanjang perjalananku pulang,
pikiranku terus berkecamuk, betapa susahnya jadi manusia (seperti bahasa iklan
rokok di televisi, hehehee....).
###########
Terima kasih kepada pembaca blog ini.
Saya masih belajar untuk menulis. Sumbang
saran dan kritik dari pembaca sangat saya harapkan demi perbaikan tulisan di
masa mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar