Halaman

Sabtu, 07 Juli 2012


Seorang pemuda dan dokarnya


Dalam perjalananku hari ini menyusuri jejak-jejak sejarah kabupaten Madiun, di saat orang-orang disibukkan dengan berbagai perhelatan dan perayaan hari jadi kabupaten Madiun ke 444 tahun, seorang pemuda sedang tekun membersihkan dan mencuci dokarnya. Begitu asik mengelap bagian-bagian dokarnya yang kotor oleh debu jalanan desa Mruwak, kecamatan Dagangan, kabupaten Madiun.

“Sibuk, mas?” tanyaku.
“Iya, mas. Mumpung sempat, saya cuci dokarnya biar bersih“ jawabnya sambil mengelap bagian di atas roda.
“Ini dokar punya mas sendiri?”
“Punya orang tua, mas. Tapi kalau saya libur sekolah, biasanya saya yang ‘andong’ (narik)” masih tetap mengelap dokarnya.
“Oooh,,, jadi mas ini masih sekolah?” tanyaku lagi.
“Iya” jawabnya singkat.
“Sekolahnya di mana?”
“Saya baru aja naik kelas 2, di MA (Madrasah Aliyah) Tri Bakti Pagotan, mas.”
“Saya salut sama maaaas.... Siapa namanya?” tanyaku sambil mengulurkan tangan.
“Oh, saya Agus, mas” jawabnya sambil menyalamiku.
“Ya, saya salut sama mas Agus. Di jaman seperti sekarang masih mau narik dokar. Biasanya anak muda seumuran mas Agus pasti gengsi melakukan pekerjaan semacam ini” pujiku padanya.
“Yaaa,, mau gimana lagi, mas. Orang tua saya kurang mampu, ini saya lakukan karena saya ingin sekolah, syukur kalau bisa sampai kuliah” senyumnya mengembang seiring binar matanya penuh harapan.
“Biasanya narik dokar sampai kemana, mas?”
“Ya paling-paling seputaran desa ini, mas. Kalaupun jauh, paling cuma sampai desa Prambon.”
“Apa cita-cita mas Agus?”
“Pengennya bisa lanjut kuliah, mas. Tapi misal nggak ada biaya, ya nyari kerja aja. Dan kalaupun nggak dapat kerjaan, paling-paling ya neruskan narik dokar.”
“Insya Allah, kalau ada kemauan dan niat yang baik, pasti selalu akan ada jalan, mas Agus. Buktinya sekarang masih bisa sekolah meski disambi narik dokar?” kataku menyemangatinya.
“Iya, mas. Insya Allah saya akan terus berusaha” jawabnya dengan mantab.
“Oke, selamat bekerja lagi, mas Agus. Saya mau meneruskan perjalanan. Tetap semangat, ya?!” sambil mengulurkan tangan menjabat tangannya.
“Terima kasih, mas. Hati-hati di jalan, mas” katanya.

Aku menyalakan motor dan membunyikan klakson. Mas Agus melambaikan tangan sambil membungkukkan badannya. Dalam perjalananku, aku membatin betapa sosok pemuda seperti mas Agus tadi sangat jarang lagi bisa ditemukan. Seorang pemuda dengan dokarnya, sementara pemuda-pemuda lainnya sibuk dengan motornya, game online dan lain sebagainya. Jangankan duduk sebagai kusir dokar, naik dokar sebagai penumpang pun mungkin pemuda-pemuda seumuran mas Agus akan merasa gengsi.



 Jaman memang terus berubah, tapi akan selalu ada hal-hal yang tidak boleh berubah, semangat bekerja dan berjuang demi masa depan yang lebih baik, sikap rendah hati dan sopan santun, kejujuran dan masih banyak hal baik lainnya yang tidak boleh berubah. Karena jika sampai nilai-nilai kebaikan itu ikut berubah, maka hancurlah tatanan kehidupan yang ada.

Banyak hal yang bisa kita peroleh dari kisah pemuda bernama Agus Fiko dari dukuh Ngrakah, desa Mruwak ini. Kesederhanaannya, semangat juangnya, harapan-harapan untuk masa depannya, ketidakgengsiannya, rendah hatinya, kesabarannya dan ketekunannya menjalani hari-harinya menggapai cita-citanya.



Semoga masih banyak lagi sosok-sosok pemuda yang memiliki nilai-nilai kebaikan dalam diri mereka di Madiun ini.

7 komentar:

  1. Balasan
    1. Terima kasih, mas Andrik Suprianto... Saya baru belajar nulis di blog, jadi masih banyak kekurangan di sana sini.

      Hapus
  2. semagat,,,

    mampir gan,,,http://kumpulanilmu2.blogspot.com/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, oke nti saya mampir ke sana!

      Hapus
  3. wooowwww..........remaja dan sisi lain. Inspirasi buat remaja2 yg lainnya. Ijin berkunjung Mas???

    BalasHapus